Sebenarnya 2 hari ini
ingin melatih diri untuk mematikan whatsapp setelah di atas jam 20.00. Tapi
hal itu urung karena ada seorang teman yang beberapa Minggu yang lalu mengirimkan
sms seperti kode untuk bertanya
sesuatu namun tidak jadi—sms 2 kali namun tidak ada respon lagi.
Malam ini dia menanyakan
hal yang sebelumnya sudah berkeliaran dalam benakku. Iya, tentang PERNIKAHAN. Agustus-September ini memang
banyak sekali wedding invitation, dan
berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, tahun ini setiap ada undangan seperti
itu—apalagi sahabat sebaya. Ada ruang di hati yang mendesir perlahan, dua detik
tertahan. Tetapi bukan tidak senang akan kabar itu, bukan sama sekali, bahkan
aku sendiri tidak dapat menjabarkannya. Dan memang tahun ini sangat spesial,
saat hatiku menangkap adanya perasaan (sedikit) marah, eh lebih tepatnya kesal
terhadap orang-orang yang bertubi-tubi menanyakan “kapan menikah?” dan sampai
saat ini aku masih sadar bahwa apapun pertanyaan orang lain, hak jawab yang
santun tetap ada pada kita.
Back
to the topic. Ada teman kuliah yang menanyakan tentang
konsep ta’aruf. Mendadak roaming. Ehehe
Dia kenal wanita itu
seminggu yang lalu dan tidak mau pacaran—langsung nikah (aku mendukung, go go
go man! Jangan jadi lelaki cemen). Aku membaca sharingnya dengan takzim, sesekali mengeryitkan kening—karena aku
sama sekali belum melewati tahap ini. You
know, jangankan mematikan whatsapp,
aku malah membuat kopi agar mataku awet malam ini.
“Aku bingung harus ngasih
jawaban apa ke keluarganya”, kurang lebih tulisnya demikian—ehm, mungkin nanti
yang jadi obyek cerita juga baca ini, jadi gak terlalu vulgar lah :p
“Lha kenapa bingung?”, aku
masih santai menjawab.
“Aku masih ragu. Kalau menurutmu
menikahi wanita itu karena apa?”, lanjutnya.
“Eh, aku belum melewati
fase ini lho, kenapa kamu nanya sama aku coba :DD”, aku terkekeh—menyeringai,
pertanyaannya masih standart dan jawabannya pun masih enteng.
“Karena kamu wanita,
mungkin tau jawabannya”, tulisnya.
Gleeek....
udah mulai masuk ke pertanyaan-pertanyaan yang membuatku mengeryitkan dahi.
“Mmm, boleh gak sih kalo
aku juga memasukkan penilaian fisik ke daftar untuk pertimbangan menikah”,
#tanya 1
“Gak masalah sih,
manusiawi, tapi jangan jadikan itu patokan utama”, #jawabku1
“Trus menurutmu apa yang
utama”, #tanya 2
“Kalo aku sih agama—tapi beda-beda
pertimbangan tiap orang (ini gak ikut ditulis lho :p), trus bukannya menikah
juga ada pertimbangan-pertimbangan lainnya, ex : keturunan, kecantikan,
kekayaan cs. Tapi memang agama landasan dan pondasi utama”, #jawabku 2
“Oh iya Bu Ayaaa (ini nih,
panggilan khas kalo tulisannya digabung, bisa-bisa menjadi garang seperti buaya
:p), dia masih ada Mbakyu yang belum menikah dan aku pekewuh kalo melangkahinya. Aku bingung”, #tanya 3
“......(pertanyaan ini
rada mikir, agak teoritis sih, karena aku paling enggan ngasih komentar
terhadap hal-hal yang belum aku alami sebelumnya).... Kamu coba tanyakan hatimu
niat kamu mau nikah itu apa? Kalo udah nemu jawabnya, tinggal kamu luruskan
niatmu—apalagi kalo niatnya untuk ibadah. Trus terkait Mbakyunya yang belum
menikah, kamu komunikasikan sama calonmu terkait hal itu. Kalo Mbakyunya gak
masalah dan calonmu oke, apa masih berkutat dengan pekewuh?”,#jawabku 4 yang asli teoritis, kalo aku yang menjadi
artis/pelakunya mungkin juga kayak kamu kali T-T
“Oh gitu yaa, mau aku
kasih alamat fb-nya? Wajahnya kayak kamu lho”, #bukan tanya
“ahahaha, nanti aku lihat
ya”, #bukan jawab
“Ini alamat FB-nya”,
#bukan tanya
“Oooh, cantik, iya sama kayak
aku pake kacamata :p”, #bukan jawab
“Btw, kamu udah istikharah
tentang ini Mas?”, #tanyaku 1
“Belum iii”, #jawabnya 1—aku langsung mbatin, pantes kowe bingung :DD
“Kamu masih punya waktu
berapa hari lagi untuk mengkonfirmasi ke keluarga mereka?”, #tanyaku2
“Yaaah sekitar 4-5 hari
lagi Bu Aya”, #jawabmu 2
“Oh yaudah, gunain 5 hari
itu, istikharah jangan bolong ya, minta petunjuk jawaban atas kebingunganmu”—ini
aku yang nulis
“Kalo istikharah sama
kayak tahajud?”—dia yang nulis
“Beda, istikharah lebih ke
meminya petunjuk tentang suatu pilihan. Googling
aja yaaa”—timpalku
“Siaaaaaap!”, jawabmu
mantap.
Dan semoga 5 hari ke depan
ada jawaban terbaik.
Aduh duh duh, paling demen
mbahas tentang pernikahan. Pertanyaan-pertanyaan temanku membuatku berfikir. Bagaimana
kalau aku yang menjadi artisnya?
Apa niatmu menikah, Ay?
Tik..tok..tik..tok
Karena ingin melengkapkan
separuh dien. Iya karena ingin
beribadah dan mengabdi pada-Nya. Tetapi kadang-kadang aku sendiri menjadi
hipokrit, jawaban itu kadang menguap dan kadang juga menguat tergantung ruhiyah. Kalo ruhiyah lagi awut-awutan ditanyain tentang kapan mau nikah aja
kayak bensin dikasih api..ahaha
Daaan, kemenangan bagi
para lajang adalah dapat menjawab pertanyaan “kapan menikah” secara
bertubi-tubi” dengan ramah tanpa amarah. Cheers!
Note : kalo yang menjadi
obyek cerita ini baca potongan tulisan ini, aku mendoakan kamu membacanya
sambil tersenyum, atau bahkan sambil menggenggam bidadari cantik yang bermata
jelly. Semoga dilancarkan ibadahnya ya...:)
Tidak ada komentar
Hai, terima kasih sudah berkunjung dan membaca! Let's drop your comments ya. Insya Allah akan berkunjung balik :)