“Mas, pinjem bahunya boleh”, suaraku mengiba.
“Buat apaan?”, jawabmu polos.
“Nangis”, ucapku melemah.
Kamu merengkuh tanpa menjawab dan tangisku pecah. Isakanku
membanjiri kemeja garis-garis biru yang kau kenakan malam itu. Dan aku hidungku
kedat karena tangisan. Bau parfummu seakan menguap dengan aroma air mata yang
tumpah ruah. Tapi kamu abaikan dan tetap memelukku. ERAT.
Beberapa menit hening. Berlalu. Kamu tidak bergeming,
makin mengeratkan pelukanmu. Aku seperti anak kecil yang kau tenangkan agar menghentikan
tangisan. Sejenak ingin menghentikan waktu. Aku rela menangis tersedu asalkan
kau memeluk mendekapku.
Tapi ternyata waktu tidak pernah berhenti meski hanya
sedetik. Pelukanmu berangsur merenggang. Aku menunduk, kau menatapku masih
dalam hening.
“Udah?”, tatapanmu tegas namun teduh.
“Huuuh”, aku mulai mengangkat kepala membalas tatapanmu. Aku
tidak sembunyi-sembunyi lagi melihat sorot tajam yang terkadang menyebalkan.
“Udah nangisnya? Atau mau dipeluk lagi? Sini kalau mau
lagi”, bibirmu mengembang dan kamu juara memenangkan senyumku.
“Udah, yuk pulang”, kamu menggamitku, mengacak-acak
rambutku yang kusut.
Ps : woy, cerita
fiktif woy. Cerita menye-menye yang imajinatif dari jomblowati yang (in sya
Allah) shalihah. Makanya disitu dia gak pake head scarft, karena Mas-Mas itu guling
halalnya. Ahahaha
Ps (lagi) : cerita ini
hanya rekaan di waktu makan siang setelah puas memaki-maki Ruby Tham. “You must
give us full information regarding to this matter earlier since your information
will influence to our legal opinion…. Piye to Bu Bu, kamu yang memaki-maki malah
kamu yang salah informasiiiiii.. cased close, yuk ngerjain Searching ;p
Tidak ada komentar
Hai, terima kasih sudah berkunjung dan membaca! Let's drop your comments ya. Insya Allah akan berkunjung balik :)