Hampir genap setengah tahun aku memakai
transportasi kereta, banyak pelajaran di dalamnya. Sabar, syukur dan kreatif
mencari-cari kesibukan untuk mengisi kekosongan 1 jam di dalamnya. Kebanyakan
menjadi emosional dan tidak terkontrol akibat kebijakan pemerintah yang
menghapus KRL Ekonomi.
Desak-desakan pasti, serobot antrian
sana-sini, sikut menyikut pun tidak dapat dihindari dan kemarahan dijadikan
hobby. Saat empati dan simpati sudah enyah, padahal di tempat duduk itu
jelas-jelas tertulis bahwa “kursi khusus ibu hamil, lansia dan anak kecil”,
namun realitanya tidak seperti peraturannya. Banyak yang cemberut saat tempat
duduknya digeser oleh ibu hamil, bahkan sempat ada gerutuan (meski tidak
semua).
Sekali aku pernah marah, aku ingat betul di
hari pertama puasa ramadhan saat tiket progresif diberlakukan. Ada wanita yang
mungkin sebayaku menyerobot antrian. Aku mencoba mengingatkan, tetapi dia tidak
terima. Sambil menggerutu dia membalas peringatanku tanda protes kalau dia
tidak suka, beruntung aku diingatkan penumpang lainnya, “Ingat puasa, Mbak”,
mereka mengusap-usap pundakku. Aku langsung beristighfar berkali-kali. Sepulang
itu, aku merenung panjang di jalan, menangis sejadi-jadinya karena hampir
saja aku terpancing marah dan merusak puasaku.
Sejak kejadian itu, aku berjanji pada diriku
sendiri untuk tidak memancing dan tidak terpancing untuk marah. Sungguh Gusti
Pangeranku, aku tidak akan melakukannya. Meskipun berkali-kali aku hampir
terpancing, tetapi aku selalu ingat janjiku!
Di kereta 1 jam, aku ngapain? Biasanya aku
melakukan ini nih
Pertama, Membaca
buku. Ada pengalaman menarik waktu
aku membaca buku di kereta. Ada ibu-ibu yang sewot melihatku membaca di tengah
sempitnya space di dalam kereta. Dia
selang 3-4 orang jaraknya. Berbisik-bisik, melirik tajam ke arahku tanda tidak
terima aku membaca buku. Aku tidak mengindahkannya, tidak memedulikannya karena
membaca buku seperti halnya orang lain memainkan hp/gadget yang merek miliki. Di sisi lain, aku tidak merasa
merugikannya, karena orang di kanan-kiri-depan-belakangku tidak merasa
keberatan aku menghabiskan waktu dengan bukuku.
Kedua, Menghafal
hafalan suratku. Ini sangat efektif menghafal kembali surat-suratku.
Ketiga, Mengajak
ngobrol penumpang lain, setidaknya menanyakan mau turun dimana, menganggap
mereka ada, karena aku juga ingin diperlakukan demikian.
Keempat, Main gadget. Ini solusi paling akhir yang
kulakukan setelah ketiga hal di atas sudah tidak memungkinkan untuk kulakukan
Kamu berkuasa penuh atas dirimu sayangku, saat orang lain tidak peduli,
tidak lagi bersimpati, tidak lagi berempati, kamu dapat melakukan sebaliknya.
“Jangan dorong-dorong dong Buk!”, aku lebih memilih diam atau kalau lagi mood
bagus, minta maaf adalah pamungkas yang membuat suasana mejadi adem.
“Saya juga di dorong dari belakang, kalo gak
mau didorong-dorong naik taksi atau gerobak sonoh”, jawaban ini sering kudengar
dan miris.
“Bunting-bunting kenapa naik kereta sih”, ini statement terbodoh yang pernah saya
dengar. Kalau yang hamil kita gimana, coba? Aku menyeringai sebal/
“Jam-jam begini harusnya gak usah bawa anak
kecil naik kereta dong Buk”, gileee, kan
gak ada larangan membawa anak kecil naik kereta. Aduh aduh aduh, aku prihatin.
Lalu apa
salahnya mereka yang hamil, yang juga ingin naik kereta ke kantornya? Lalu apa
salahnya yang membawa anak kecil naik kereta di jam-jam kantor? Ah, aku
menyeringai, kebas dengan keadaan.
Tapi setidaknya masih ada yang mau menyisihkan
space untuk mereka dengan tulus tanpa
harus mengumpat. Setidaknya masih ada yang menahan amarahnya, karena kita
sama-sama merasakannya.
Tidak ada komentar
Hai, terima kasih sudah berkunjung dan membaca! Let's drop your comments ya. Insya Allah akan berkunjung balik :)